T : Bagaimana sebenarnya pandangan Islam tentang musik ? Apakah lagu - lagu barat boleh didengar dan atau didendangkan ?
J : Agama Islam memperkenalkan dirinya, antara lain, sebagai agama yang sejalan dengan fitrah/naluri/kecenderungan bawaan manusia : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus, tapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS. ar - Rum [30] : 30).
Jika demikian itu halnya agama Allah (Islam), maka tidak mungkin ada satu pun ajarannya yang bertentangan dengan fitrah. Salah satu fitrah itu adalah kecenderungan manusia kepada keindahan, baik berupa pemandangan alam, keindahan wajah, aroma yang harum, dan tentu termasuk juga suara yang merdu. Tuhan tidak mungkin menciptakan itu dalam diri manusia kemudian Dia mengharamkannya.
Musik adalah nada atau suara yang disusun demikan rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan. Musik telah lama dikenal manusia dan digunakan untuk berbagai keperluan selain hiburan, seperti pengobatan, mengobarkan semangat, bahkan menidurkan bayi.
Kebanyakan ulama abad kedua dan ketiga Hijriah - kususnya yang berkecimpung dalam bidang hukum - mengharamkan musik. Imam Syafi'i, misalnya, menegaskan bahwa diharamkan permainan dengan nard (alat musik yang terbuat dari batang kurma), dan bahwa tertolak kesaksian seorang yang memiliki budak wanita kemudian mengumpulkan orang mendengarkan nyanyiannya.
Imam Abu Hanifah memandang bahwa mendengar nyanyian termasuk dosa. Ini berbeda dengan pandangan kaum sufi. Mereka pada umumnya mendukung nyanyian. Ibnu Mujahid tidak menghadiri undangan kecuali jika disuguhkan nyanyian. "Rahmat Allah turun kepada kelompok sufi, antara lain, karena mereka mendengar nyanyian yang mengesankan hati mereka sehingga mereka mengakui kebenaran." Begitu kata sufi besar, al - Junaid. Imam al - Ghazali secara tegas membolehkan musik. Bahkan dia berpendapat bahwa nyanyian dapat menimbulkan ekstase (keadaan amat khusyuk sampai tidak sadarkan diri). Boleh jadi, lebih dari apa yang ditimbulkan oleh faktor - faktor lain, pendapat ini didukung oleh hampir semua kaum sufi.
Al - Ghazali mengecam mereka yang mengharamkan musik atau nyanyian, walaupun dia mengakuai adanya larangan Nabi saw, tetapi dia mengaitkan larangan mendengar musik ayau nyanyian dengan kondisi yang menyertainya, atau dampak dampak negatif yang dilahirkan. Hadist Nabi saw. yang melarang nyanyian, antara lain adalah yang dilakukan wanita dihadapan lelaki di bar (tempat menyuguhkan minuman keras). Ada hadist - hadist Nabi saw. yang sahih menunjukkan kebolehan bernyanyi atau menggunakan alat musik, antara lain, bahwa A'isyah pernah mendengar nyanyian di rumah Nabi saw., dan Nabi saw. tidak menegurnya. A'isyah menjelaskan, "Rasulullah saw. masuk ke rumah dan ketika itu ada dua orang budak wanita sedang menyanyikan nyanyian peperangan Buats. Maka Rasusllulah pergi berbaring di kasur dan mengalihkan wajah beliau. (Tidak lama) masuk Abu Bakar dan dia menghardik saya seraya berkata, "Seruling setan di sisi Rasulullah ?" Maka Nabi saw. menghadapkan wajahnya kepada Abu Bakar dan bersabda, "Biarkan keduanya (menyanyi)". Ketika Abu Bakar pulang, saya memberi isyarat kepada keduanya dan (penyanyi itu) keluar" (HR. al - Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah).
Hadist ini menunjukkan bolehnya menyanyi dan mendengarkannya. Bahwa Rasul memalingkan wajah beliau, boleh jadi untuk menghindar dari melihat penyanyi - penyanyi (bukan mendengar nyanyiannya). Atau boleh jadi karena beliau tidak suka pada nada atau syair nyanyian yang menceritakan peperangan Buats - yaitu peperangan antara suku Aus dan Khazraj sebelum kedatangan Islam.
Menurut al - Ghazali, adanya izin ini menunjukkan bolehnya menyanyi. Adapun larangan yang ada, maka harus dilihat konteksnya.
Ulama - ulama yang melarang musik, menamai alat - alat musik atau musiknya itu sendiri sebagai al - malahii (alat - alat yang melalaikan dari kewajiban atau melalaikan dari sesuatu yang penting). Dalam konteks inilah musik menjadi haram atau makruh. Akan tetapi, jika musik mendorong kepada sesuatu yang baik, ketika itu duanjurkan.
Lagu barat - siapapun penyanyinya, pria atau wanita (suara wanita bukan aurat/tidak haram didengar), Muslim atau bukan - jika mendorong ke arah kebaikan, hukumnya halal. Dan sebaliknya, lagu lagu berbahasa Arab sekalipun, atau yang berirama kasidah dapat saja menjadi haram, bila mengandung kalimat yang tidak wajar atau mengundang rangsangan kemungkaran.
Almarhum Mahmud Syaltut, pemimpin tertinggi al - Azhar Mesir, dalam fatwanya, menegaskan bahwa para ahli hukum Islam telah sepakat tentang bolehnya nyanyian guna membangkitkan kerinduan melaksanakan haji, semangat bertempur, serta dalam peristiwa - peristiwa gembira - seperti lebaran, perkimpoian, dan sebagainya. Adapun, selain itu, memang diperselisihkan, tetapi semua alasan untuk melarangnya - selama tidak menimbulkan dampak negatif - tidak dapat dibenarkan.
Demikian, walllahu a'lam.
Diambil dari buku "M. Quariash Shihab Menjawab - 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui"
halaman 786 - 788.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar