Minggu, 30 Oktober 2011
AGAMA
Tidak mudah mendefinisikan agama, apalagi di dunia ini kita
menemukan kenyataan bahwa agama amat beragam. Pandangan
seseorang terhadap agama, ditentukan oleh pemahamannya
terhadap ajaran agama itu sendiri. Ketika pengaruh gereja di
Eropa menindas para ilmuwan akibat penemuan mereka yang
dianggap bertentangan dengan kitab suci, para ilmuwan pada
akhirnya menjauh dari agama bahkan meninggalkannya.
Persoalan yang menjadi topik pembicaraan kita mau tak mau
harus muncul, "Apakah agama masih relevan dengan kehidupan
masa kini yang cerminannya seperti digambarkan di atas?"
Sebelum menjawab, perlu terlebih dahulu dijawab: Apakah
manusia dapat melepaskan diri dari agama?" Atau, "Adakah
alternatif lain yang dapat menggantikannya?"
Dalam pandangan Islam, keberagamaan adalah fithrah (sesuatu
yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak
kelahirannya):
Fitrah Allah yang menciptakan manusia atas fitrah itu
(QS Ad-Rum [30]: 30)
Ini berarti manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama.
Tuhan menciptakan demikian, karena agama merupakan kebutuhan
hidupnya. Memang manusia dapat menangguhkannya sekian lama
--boleh jadi sampai dengan menjelang kematiannya. Tetapi pada
akhirnya, sebelum ruh rmeninggalkan jasad, ia akan merasakan
kebutuhan itu. Memang, desakan pemenuhan kebutuhan
bertingkat-tingkat. Kebutuhan manusia terhadap air dapat
ditangguhkan lebih lama dibandingkan kebutuhan udara. Begitu
juga kebutuhan manusia makanan, jauh lebih singkat
dibandingkan dengan kebutuhan manusia untuk menyalurkan naluri
seksual. Demikian juga kebutuhan manusia terhadap agama dapat
ditangguhkan, tetapi tidak untuk selamanya.
Ketika terjadi konfrontasi antara ilmuwan di Eropa dengan
Gereja, ilmuwan meninggalkan agama, tetapi tidak lama kemudian
mereka sadar akan kebutuhan kepada pegangan yang pasti, dan
ketika itu, mereka menjadikan "hati nurani" sebagai alternatif
pengganti agama. Namun tidak lama kemudian mereka menyadari
bahwa alternatif ini, sangat labil, karena yang dinamai
"nurani" terbentuk oleh lingkungan dan latar belakang
pendidikan, sehingga nurani Si A dapat berbeda dengan Si B,
dan dengan demikian tolok ukur yang pasti menjadi sangat
rancu.
Setelah itu lahir filsafat eksistensialisme, yang
mempersilakan manusia melakukan apa saja yang dianggapnya
baik, atau menyenangkan tanpa mempedulikan nilai-nilai.
Namun, itu semua tidak dapat menjadikan agama tergusur, karena
seperti dikemukakan di atas ia tetap ada dalam diri manusia,
walaupun keberadaannya kemudian tidak diakui oleh kebanyakan
manusia itu sendiri.
William James menegaskan bahwa, "Selama manusia masih memiliki
naluri cemas dan mengharap, selama itu pula ia beragama
(berhubungan dengan Tuhan)." Itulah sebabnya mengapa perasaan
takut merupakan salah satu dorongan yang terbesar untuk
beragama.
I1mu mempercepat Anda sampai ke tujuan, agama
menentukan arah yang dituju.
I1mu menyesuaikan manusia dengan lingkungannya, dan
agama menyesuaikan dengan jati dirinya.
I1mu hiasan 1ahir, dan agama hiasan batin.
I1mu memberikan kekuatan dan menerangi jalan, dan agama
memberi harapan dan dorongan bagi jiwa.
I1mu menjawab pertanyaan yang dimulai dengan
"bagaimana", dan agama menjawab yang dimulai dengan
"mengapa."
Ilmu tidak jarang mengeruhkan pikiran pemiliknya,
sedang agama selalu menenangkan jiwa pemeluknya yang
tulus.
Demikian Murtadha Muthahhari menjelaskan sebagian fungsi dan
peranan agama dalam kehidupan ini, yang tidak mampu diperankan
oleh ilmu dan teknologi. Bukankah kenyataan hidup masyarakat
Barat membuktikan hal tersebut?
Manusia terdiri dari akal, jiwa, dan jasmani. Akal atau rasio
ada wilayahnya. Tidak semua persoalan bisa diselesaikan atau
bahkan dihadapi oleh akal. Karya seni tidak dapat dinilai
semata-mata oleh akal, karena yang lebih berperan di sini
adalah kalbu. Kalau demikian, keliru apabila seseorang hanya
mengandalkan akal semata-mata.
Akal bagaikan kemampuan berenang. Akal berguna saat berenang
di sungai atau di laut yang tenang, tetapi bila ombak dan
gelombang telah membahana, maka yang pandai berenang dan yang
tidak bisa berenang sama-sama membutuhkan pelampung.
Dalam hubungannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, agama sesungguhnya sangat berperan, terutama jika
manusia tetap ingin jadi manusia. Ambillah sebagai contoh
bidang bio-teknologi. Ilmu manusia sudah sampai kepada batas
yang menjadikannya dapat berhasil melakukan rekayasa genetika.
Apakah keberhasilan ini akan dilanjutkan sehingga menghasilkan
makhluk-makhluk hidup yang dapat menjadi tuan bagi penciptanya
sendiri? Apakah ini baik atau buruk? Yang dapat menjawabnya
adalah nilai-nilai agama, dan bukan seni, bukan pula filsafat.
Jika demikian, maka tidak ada alternatif lain yang dapat
menggantikan agama. Mereka yang mengabaikannya, terpaksa
menciptakan "agama baru" demi memuaskan jiwanya.
Dalam pandangan sementara pakar Islam, agama yang diwahyukan
Tuhan, benihnya muncul dari pengenalan dan pengalaman manusia
pertama di pentas bumi. Di sini ia memerlukan tiga hal, yaitu
keindahan, kebenaran, dan kebaikan. Gabungan ketiganya dinamai
suci. Manusia ingin mengetahui siapa atau apa Yang Mahasuci,
dan ketika itulah dia menemukan Tuhan, dan sejak itu pula ia
berusaha berhubungan dengan-Nya bahkan berusaha untuk
meneladani sifat-sifat-Nya. Usaha itulah yang dinamai
beragama, atau dengan kata lain, keberagamaan adalah
terpatrinya rasa kesucian dalam jiwa beseorang. Karena itu
seorang yang beragama akan selalu berusaha untuk mencari dan
mendapatkan yang benar, yang baik, lagi yang indah.
Mencari yang benar menghasilkan ilmu, mencari yang baik
menghasi1kan akhlak, dan mencari yang indah menghasilkan seni.
Jika demikian, agama bukan saja merupakan kebutuhan manusia,
tetapi juga selalu relevan dengan kehidupannya. Adakah manusia
yang tidak mendambakan kebenaran, keindahan dan kebaikan?
IDE DASAR PERDAMAIAN
Agaknya, cukup dengan memahami makna nama agama ini yakni
Islam, seseorang telah dapat mengetahui bahwa ia adalah agama
yang mendambakan perdamaian. Cukup juga dengan mendengarkan
ucapan yang dianjurkan untuk disampaikan pada setiap
pertemuan. "Assalamu 'Alaikum" (Damai untuk Anda), seseorang
dapat menghayati bahwa kedamaian yang didambakan bukan hanya
untuk diri sendiri, tetapi juga untuk pihak lain. Kalau
demikian, tidak heran jika salah satu ciri seorang Muslim,
adalah seperti sabda Nabi Muhammad Saw.
Siapa yang menyelamatkan orang lain (yang mendambakan
kedamaian) dari gangguan lidahnya dan tangannya.
Perdamaian merupakan salah satu ciri utama agama Islam. Ia
lahir dari pandangan ajarannya tentang Allah, Tuhan Yang
Mahakuasa, alam, dan manusia.
Allah, Tuhan Yang Maha Esa, adalah Maha Esa, Dia yang
menciptakan segala sesuatu berdasarkan kehendak-Nya semata.
Semua ciptaan-Nya adalah baik dan serasi, sehingga tidak
mungkin kebaikan dan keserasian itu mengantar kepada kekacauan
dan pertentangan. Dari sini bermula kedamaian antara seluruh
ciptaan-Nya.
Makhluk hidup diciptakan dari satu sumber: "Kami menciptakan
semua yang hidup dan air" (QS Al-Anbiya' [21]: 22). Manusia,
yang merupakan salah satu unsur yang hidup itu, juga di
ciptakan dari satu sumber yakni thin (tanah yang bercampur
air) melalui seorang ayah dan seorang ibu, sehingga manusia,
bukan saja harus hidup berdampingan dan harmonis bersama
manusia lain, tetapi juga dengan makhluk hidup lain, bahkan
dengan alam raya, apalagi yang berada di bumi ini. Bukankah
eksistensinya lahir dari tanah, bumi tempat dia berpijak, dan
kelak ia akan kembali ke sana?
Demikian ide dasar ajaran Islam, yang melahirkan keharusan
adanya kedamaian bagi seluruh makhluk.
Benar bahwa agama ini memerintahkan untuk mempersiapkan
kekuatan guna menghadapi musuh. Namun persiapan itu tidak lain
kecuali --menurut istilah Al-Quran-- adalah untuk
menakut-nakuti mereka (yang bermaksud melahirkan kekacauan dan
disintegrasi) (QS Al-Anfal [8]: 60). Peperangan --kalau
terjadi-- tidak dibenarkan kecuali untuk menyingkirkan
penganiayaan, itu pun dalam batas-batas tertentu. Anak-anak,
orang tua, kaum lemah, bahkan pepohonan harus dilindungi, dan
atas dasar ini, datang petunjuk Tuhan yang menyatakan:
Kalau mereka cenderung kepada perdamaian, maka
sambutlah kecenderungan itu, dan berserah dirilah
kepada Allah (QS Al-Anfal [8]: 61).
KERUKUNAN DAN DEMOKRASI
Biasanya yang paling berharga bagi sesuatu adalah dirinya
sendiri. Ini berarti yang paling berharga buat agama adalah
agama itu sendiri. Karenanya setiap agama menuntut pengorbanan
apa pun dari pemeluknya demi mempertahankan kelestariannya.
Namun demikian, Islam datang tidak hanya bertujuan
mempertahankan eksistensinya sebagai agama, tetapi juga
mengakui eksistensi agama-agama lain, dan memberinya hak untuk
hidup berdampingan sambil menghormati pemeluk-pemeluk agama
lain.
Jangan mencerca yang tidak menyembah Allah (penganut
agama lain) ... (QS Al-An'am [6): 108).
Tiada paksaan untuk menganut agama (Islam) (QS
Al-Baqarah [2]: 256).
Bagimu agamamu dan bagiku agamaku (QS Al-Kafirun [109]:
6)
Surat Al-Hajj (22): 40 menyatakan:
"Seandainya Allah tidak meno1ak keganasan sebagian
orang atas sebagian yang lain (tidak mendorong kerja
sama antara manusia), niscaya rubuhlah biara-biara,
gereja~gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan
masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama
Allah."
Ayat ini dijadikan oleh sebagian ulama, seperti Al-Qurthubi
(w. 671 H), sebagai argumentasi keharusan umat Islam
memelihara tempat-tempat ibadah umat non-Muslim. Memang,
A1-Quran sendiri amat tegas menyatakan bahwa,
Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan
seluruh manusia menjadi satu umat saja (QS Al-Nahl
[16]: 93).
Tetapi Allah tidak menghendaki yang demikian, karena itu Dia
memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih sendiri
jalan yang dianggapnya baik, mengemukakan pendapatnya secara
jelas dan bertanggung jawab. Di sini dapat ditarik kesimpulan
bahwa kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan memilih agama,
adalah hak yang dianugerahkan Tuhan kepada setiap insan.
Yang dikemukakan ayat Al-Quran tersebut merupakan salah satu
benih dari ajaran demokrasi, hal mana kemudian akan nampak
dengan jelas dalam petunjuk-petunjuk Kitab Suci. Salah satu
yang dapat dikemukakan di sini adalah pengalaman Nabi Saw.
dalam peperangan Uhud serta kaitannya dengan ayat yang
memerintahkan musyawarah. Sejarah menginformasikan bahwa
ketika terdengar berita rencana serangan musuh-musuh Nabi Saw.
dari Makkah ke Madinah, Nabi Saw. berpendapat bahwa lebih baik
menunggu mereka hingga sampai ke kota Madinah. Namun mayoritas
sahabat-sahabatnya dengan penuh semangat mendesak beliau agar
menghadapi mereka di luar kota, yakni di Uhud. Karena desakan
itu, akhirnya Nabi menyetujui. Tetapi, ternyata, puluhan
sahabat Nab~ gugur dalam peperangan tersebut sehingga
menimbulkan penyesalan. Setelah pengalaman pahit mengikuti
pendapat mayoritas ini, justu Al-Quran turun memberi petunjuk
kepada Nabi Muhammad Saw., agar tetap melakukan musyawarah dan
selalu bertukar pikiran dengan sahabat-sahabatnya (baca QS Ali
'Imran [3]: 159).
Demikian terlihat kebebasan beragama, mengemukakan pendapat,
dan demokrasi, merupakan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Atas dasar itu pula, kitab suci umat Islam mengakui kenyataan
tentang banyaknya jalan yang dapat ditempuh umat manusia.
Mereka diperintahkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (QS
Al-Baqarah [2]: 148), kesemuanya demi kedamaian dan kerukunan:
Allah memberi petunjuk melalui wahyu-Nya siapa yang
mengikuti keridhaan-Nya dengan menelusuri jalan-jalan
kedamaian (QS Al-Maidah [5]: 16).
Sekali lagi ditemukan bahwa kebhinekaan diakui atau ditampung
selama bercirikan kedamaian. Bahkan dalam rangka mewujudkan
kedamaian dengan pihak lain, Islam menganjurkan dialog yang
baik (QS Al-Nahl [16]: 125). Dan dalam dialog itu, seorang
Muslim tidak dianjurkan untuk mengklaim kepada mitra dialognya
bahwa kebenaran hanya menjadi miliknya.
Katakanlah, Kami atau Anda yang berada dalam kebenaran
atau kesesatan yang nyata (QS Saba' [34]: 24).
Bahkan lebih jauh dari itu Kitab Suci umat Islam mengajarkan
kata atau kalimat-kalimat dialog yang pada lahirnya dapat
dinilai "merugikan". Perhatikan terjemahan ayat berikut:
Kamu sekalian tidak akan diminta untuk
mempertanggungjawabkan dosa-dosa kami. Kami pun tidak
akan mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan kalian.
(QS Saba' [34]: 25) .
Kita menamai perbuatan kita dosa, dan tidak menamakan
perbuatan mitra dialog non-Muslim sebagai dosa, tetapi
menyebutnya sebagai "perbuatan".
Perdamaian dan kerukunan yang didambakan Islam, bukankah yang
bersifat semu, tetapi yang memberi rasa aman pada jiwa setiap
insan. Karena itu, langkah pertama yang dilakukannya adalah
mewujudkannya dalam jiwa setiap pribadi. Setelah itu ia
melangkah kepada unit terkecil dalam masyarakat yakni
keluarga. Dari sini ia beralih ke masyarakat luas, seterusnya
kepada seluruh bangsa di permukaan bumi ini, dan dengan
demikian dapat tercipta perdamaian dunia, dan dapat terwujud
hubungan harmonis serta toleransi dengan semua pihak.
Demikian, sekelumit ajaran Islam. Kalau kenyataan di dunia
Islam berbeda dengan apa yang tersurat dalam petunjuk agama
ini, maka yang keliru adalah pelaku ajaran dan bukan ajarannya
itu sendiri. Sungguh tepat pernyataan Syaikh Muhammad Abduh,
"Al-Islam mahjub bil muslimin" (Keindahan ajaran Islam
ditutupi oleh kelakuan sementara umat Islam).
AGAMA ISLAM DALAM KEHIDUPAN MODERN
Berbicara tentang agama Islam dalam kehidupan modern, terlebih
dahulu perlu digarisbawahi keharusan pemisahan antara agama
dan pemeluk agama seperti ucapan Syaikh Muhammad Abduh di
atas.
Ajaran Islam tertutup oleh perilaku kaum Muslim.
Islam memiliki prinsip-prinsip dasar yang harus mewarnai sikap
dan aktivitas pemeluknya. Puncak dari prinsip itu adalah
tauhid. Di sekelilingnya beredar unit-unit bagaikan
planet-planet tata surya yang beredar di sekeliling matahari,
yang tidak dapat melepaskan diri dari orbitnya. Unit-unit
tersebut antara lain:
a. Kesatuan alam semesta. Dalam arti, Allah
menciptakannya dalam keadaan amat serasi, seimbang, dan
berada di bawah pengaturan dan pengendalian Allah Swt.
melalui hukum-hukum yang ditetapkan-Nya.
b. Kesatuan kehidupan. Bagi manusia ini berarti bahwa
kehidupan duniawinya menyatu dengan kehidupan akhirnya.
Sukses atau kegagalan ukhrawi, ditentukan oleh amal
duniawinya.
c. Kesatuan ilmu. Tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu
agama dan ilmu umum, karena semuanya bersumber dari
satu sumber yaitu Allah Swt.
d. Kesatuan iman dan rasio. Karena masing-masing
dibutuhkan dan masing-masing mempunyai wilayahnya
sehingga harus saling melengkapi.
e. Kesatuan agama. Agama yang dibawa oleh para Nabi
kesemuanya bersumber dari Allah Swt., prinsip-prinsip
pokoknya menyangkut akidah, syariah, dan akhlak tetap
sama dari zaman dahulu sampai sekarang.
f. Kesatuan kepribadian manusia. Mereka semua
diciptakan dari tanah dan Ruh Ilahi.
g. Kesatuan individu dan masyarakat. Masing-masing
harus saling menunjang.
Islam --dalam hal urusan hidup duniawi-- tidak memberi rincian
petunjuk, karena
Kamu lebih mengetahui tentang urusan duniamu (ketimbang
aku).
Demikian sabda Nabi Muhammad Saw. sebagaimana diriwayatkan
oleh Imam Muslim.
Dari prinsip-prinsip semacam di atas, seorang Muslim dapat
menyesuaikan diri dengan perkembangan positif masyarakatnya,
dan karena itu pula Islam memperkenalkan dirinya sebagai
"Agama yang selalu sesuai dengan setiap waktu dan tempat."
Kitab suci Al-Quran mempersilakan umat Islam untuk
mengembangkan ilmu, menggunakan akalnya menyangkut segala
sesuatu yang berada dalam wilayah nalar, yaitu alam fisika
ini. Namun harus disadari oleh manusia, bahwa jangankan alam
raya yang sedemikian luas, dirinya sendiri sebagai manusia
belum sepenuhnya ia kenal.
Islam tidak menghalangi umatnya untuk memperoleh kekayaan
sebanyak mungkin. Bahkan harta yang banyak dinamainya khair
(baik) dalam arti perolehan dan penggunaannya harus dengan
baik. Islam juga tidak melarang umatnya bersenang-senang di
dunia, hanya digarisbawahinya bahwa kesenangan duniawi
bersifat sementara, dan karena itu jangan sampai ia
melengahkan dari kesenangan abadi, atau melengahan dari
kewajiban kepada Allah dan masyarakat.
Umat Islam diperkenalkan oleh Al-Quran sebagai ummattan
wasathan (umat pertengahan) yang tidak larut dalam
spiritualme, tetapi tidak juga hanyut dalam alam materialisme.
Seorang Muslim, adalah memenuhi kebutuhannya dan mewarnai
kehidupannya bukan ala malaikat, tetapi tidak juga ala
binatang.
Hubungan seks dibenarkannya, tetapi karena manusia adalah
makhluk terhormat, yang terdiri dari ruhani dan jasmani maka
hubungan tersebut harus terjadi hubungan lahir dan batin, dan
karena itu ia harus dikukuhkan atas nama Tuhan, melalui
perkawinan yang sah menurut agama. Nabi Muhammad saw.
bersabda:
Kamu mengawini mereka (istri-istrimu) berdasarkan
amanat Allah dan berhak menggaulinya karena kalimat
(izin) Allah.
Manusia diakui sebagai makhluk yang amat mulia, dan jagat raya
ditundukkan Tuhan kepadanya. Ia diberi kelebihan atas banyak
makhluk-makhluk yang lain, tetapi sebagian kelebihan dan
keistimewaannya --material dan material-- diperoleh melalui
bantuan masyarakat.
Bahasa dan istiadat adalah produk masyarakatnya. Keuntungan
material, tidak dapat diraihnya tanpa partisipasi masyarakat
dalam membeli bagi pedagang, dan adanya irigasi walau
sederhana bagi petani, serta stabilitas keamanan bagi semua
pihak, yang tidak diwujudkan oleh seorang saja.
Kalau demikian, wajar jika hak asasinya harus dikaitkan dengan
kepentingan masyarakatnya serta ketenangan orang banvak.
Pandangan Barat yang menyatakan: "Anda boleh melakukan apa
saja selama tidak melanggar hak orang lain", tidak sejalan
dengan tuntutan moral Al-Quran yang menyatakan: "Hendaklah
Anda mengorbankan sebagian kepentingan Anda guna kepentingcan
orang lain."
Mereka (kelompok Anshar) mengutamakan (orang-orang
Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka
dalam kesusahan. Siapa yang dipelihara dari kekikiran
dirinya, mereka dalam kekikiran dunianya, mereka itulah
orang-orang beruntung (QS Al-Hasyr [59]: 9).
Demikian sekelumit pembahasan tentang agama.
Shihab, M.Quarish.1996. Wawasan Al Qur'an : Tafsir Madhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar